Memanfaatkan Peluang di Balik Munculnya Bad News Akibat Krisis
Setiap perusahaan pasti pernah mengalami yang namanya krisis. Sayangnya, tidak semua perusahaan mampu melakukan manajemen krisis dengan baik. Padahal, ketika krisis terjadi, bad news cenderung lebih cepat meluas karena dianggap sebagai “good news” untuk topik pembicaraan. Penyebaran bad news pun bisa berdampak negatif terhadap jalannya bisnis perusahaan.
Kabar baiknya, hal tersebut bisa dicegah selama perusahaan mampu menerapkan manajemen krisis yang cepat, tepat, dan tanggap. Bahkan, bad news yang muncul dari krisis juga dapat dimanfaatkan sebagai peluang tersendiri oleh perusahaan.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Ricardo Indra, M.Si., CPR, General Manager Program Management Office (Transformation) – Communication & Supporting PT Telkomsel, dalam seminar online yang diadakan dalam rangka pembukaan program Magister/S2 di BINUS @Bekasi.
Tidak semua sumber krisis bersifat uncontrollable
Dalam rangka pembukaan program studi Magister Ilmu Komunikasi BINUS GRADUATE PROGRAM di kampus BINUS @Bekasi, diadakan seminar online bertema “Seeking the Opportunity from Setbacks, Bad News is Good News” pada 25 April 2020. Dr. Ricardo Indra (Indra) dipilih sebagai pembicara mengingat sepak terjangnya selama kurang lebih 25 tahun di bidang manajemen, komunikasi, dan jurnalistik. Saat ini Indra juga merupakan salah satu pengajar di Magister Ilmu Komunikasi BINUS GRADUATE PROGRAM.
Beliau membuka seminar dengan mengatakan bahwa ketika terjadi krisis di perusahaan, bad news umumnya lebih cepat meluas. Namun, pria yang menyelesaikan studi S3 Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia (UI) ini menekankan bahwa bad news tidak perlu dikhawatirkan selama perusahaan tahu cara mengatasinya.
Memang, mayoritas sumber terjadinya krisis tidak bisa dikontrol (uncontrolable) sehingga penanganannya cukup rumit. “Krisis yang tidak bisa dikendalikan umumnya jauh lebih kompleks daripada yang bisa dikendalikan perusahaan,” ujar Indra.
Pandemi corona, seperti yang terjadi saat ini, termasuk salah satu sumber krisis yang bersifat uncontralable. Beberapa contoh lainnya adalah perubahan iklim politik dan pemerintahan, isu internasional, serta perubahan teknologi.
Di samping itu, ada pula sumber-sumber krisis yang masih bisa dikontrol (controlable) sehingga memungkinkan perusahaan untuk melakukan antisipasi. Beberapa di antaranya seperti kompetisi bisnis, perubahan perilaku konsumen, suplai bahan baku, dan tata kelola perusahaan.
Pentingnya memetakan tingkat krisis yang terjadi di perusahaan
Apa pun bentuknya, krisis pasti akan memberikan dampak tersendiri kepada perusahaan, baik itu terhadap reputasi, stakeholder, maupun potential loss. Namun,
dampak krisis bisa memiliki tingkatan yang berbeda, mulai dari mikro, minor, medium, major, dan fatal. Demi meminimalisir dampak yang muncul, penting bagi perusahaan untuk memetakan tingkat krisis; sudah pada tingkatan mana dampak krisis menghantam perusahaan?
Dengan melakukan pemetaan, perusahaan pun dapat segera mengambil tindakan untuk mengatasi krisis, sehingga dampaknya tidak akan naik tingkat. Selain itu, adanya tindakan yang cepat juga menunjukkan transparansi perusahaan. Indra menjelaskan pula bahwa pada dasarnya, ada empat fase dalam penanganan krisis di perusahaan.
Fase pertama: prodrome, yakni ketika krisis baru saja muncul dan operasional perusahaan masih berjalan dengan baik. Fase kedua: acute, di mana isu krisis mulai meluas dan kerusakan atau dampaknya mulai terjadi. Fase ketiga: chronic, yang fokus pada kemampuan perusahaan dalam melakukan proses penyelesaian. Fase keempat: resolution, perusahaan harus tetap waspada agar krisis tidak terulang.
Pastikan spokeperson memiliki kemampuan komunikasi yang baik
Ketika krisis terjadi, biasanya media akan langsung menyorot perusahaan terkait. Itulah kenapa walaupun proses penyelesaian krisis merupakan tanggung jawab banyak pihak, penunjukan spokeperson menjadi salah satu hal paling krusial.
Spokeperson bisa dibilang sebagai perwakilan atau representasi perusahaan. Indra bahkan mengatakan bahwa, “Kemampuan penanganan krisis perusahaan ditakar dari skill spokeperson yang melakukan komunikasi.”
Komunikasi yang dimaksud pun bukan hanya ketika melakukan news conference atau berhadapan dengan awak media, tapi juga komunikasi di ranah digital. Terlebih, saat ini masyarakat Indonesia begitu cepat dalam mengakses berita di dunia online.
Agar spokeperson mampu memberikan pernyataan yang transparan dan akurat tanpa salah ucap, pemetaan krisis wajib dilakukan. Bentuk tim khusus untuk mengidentifikasi kebutuhan media, lalu tuangkan hasil identifikasi ini dalam bentuk dokumen briefing. Dokumen inilah yang akan menjadi panduan bagi spokeperson untuk menyampaikan pernyataan secara terstruktur, sehingga nantinya tidak melantur ke mana-mana.
Meskipun tidak dapat dihindari, bukan berarti terjadinya krisis bisa dibiarkan begitu saja. Sebaliknya, perusahaan justru harus bersatu dalam melakukan penanganan, baik dari segi operasional, corporate communication, hingga top management. Kuncinya adalah selalu responsif, jangan diam dan dan menghindar karena hanya akan menimbulkan image buruk pada perusahaan.