Kecerdasan Budaya: Tantangan Baru Bagi Akademisi di Bidang Akuntansi
Bila berbicara soal bidang akuntansi, pasti yang terlintas di pikiran adalah uang, angka, dan rumus matematika. Tidak sepenuhnya salah, namun seringkali orang melupakan aspek budaya yang juga penting dalam pekerjaan seorang akuntan sekaligus akademisi di bidang akuntansi ini. Melihat kondisi sekitar di mana globalisasi membawa dampak besar bagi bisnis dan pendidikan dunia, kini semakin banyak mahasiswa internasional yang bergabung dalam sebuah universitas.
Tidak bisa dipungkiri kalau perguruan tinggi merupakan salah satu contoh nyata dari salad bowl, fenomena sebuah tempat yang menaungi berbagai budaya yang berbeda dan mencolok. Mulai dari mahasiswa, rekan kerja staff akademik, partner riset, hingga audiens seminar, semuanya memiliki level keberagaman budaya yang tinggi. Dr. Meredith Tharapos, CA., CPA, seorang Deputy Head of Accounting Department, UG Program Manager, dan Senior Lecturer School of Accounting, Information System and Supply Chain, College of Business dari RMIT University di Australia mengungkapkan situasi genting mengenai diperlukannya kecerdasan budaya (CQ), terutama bagi akademisi di bidang akuntansi.
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Magister Akuntasi BINUS Graduate Program dan BINUS University Undergraduate Accounting Study Program bersama RMIT University Melbourne berjudul “Are Accounting Academics Culturally Intelligent?” pada Rabu (8/7), beliau menjelaskan riset yang sudah ia kembangkan mengenai nilai kecerdasan buatan yang dimiliki oleh akademisi akuntansi di Australia.
Potensi dari Keberagaman Budaya
Adanya keberagaman budaya membawa dampak positif serta negatif dalam proses belajar mengajar. Keuntungan dari keberagaman budaya adalah terciptanya diskusi yang lebih matang dikarenakan adanya input dari orang-orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Hal ini penting mengingat dunia pendidikan begitu luas, termasuk juga di bidang akuntansi. Meredith mengungkapkan bahwa keberagaman budaya memiliki peran signifikan bagi para akademisi, contohnya seperti dalam menjalankan kolaborasi.
Meski begitu, keberagaman budaya menimbulkan tantangan baru bagi akademisi, menciptakan konflik akibat perbedaan budaya, metodologi, ekspektasi, bahasa, dan kemampuan. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya sinergi antar kelompok, terutama dalam kerja sama. Seperti yang dinyatakan oleh Meredith: “All of these can lead to fantastic conversations during class, but it can create conflicts, it can marginalize students, and it can create all sorts of challenges.”
Pentingnya Kecerdasan Budaya
Dari masalah yang muncul akibat perbedaan budaya, maka sudah menjadi tanggung jawab bagi para akademisi seperti tenaga pengajar dan staff untuk mengasah kecerdasan budaya. Beberapa akademisi mungkin merasa nyaman untuk beradaptasi dengan budaya yang berbeda, tetapi tentunya masih banyak akademisi akuntansi yang merasa kesulitan dalam menghadapi tantangan dari keberagaman budaya.
Di sinilah peran penting dari kecerdasan budaya, yakni pedoman bagi para akademisi untuk bisa tetap produktif terlepas dari perbedaan budaya yang kental. Kecerdasan budaya sendiri didefinisikan sebagai kemampuan seorang individu untuk bekerja secara efektif dalam situasi budaya yang beragam. Terdapat 4 komponen penting dalam kecerdasan budaya yang saling berhubungan.
Metacognitive CQ merupakan kemampuan individu untuk menganalisis pola pikir, memahami, dan mencari solusi dari konflik yang timbul akibat keberagaman budaya. Cognitive CQ mencakup pengetahuan dan pengalaman individu akan budaya lain. Sementara motivational merupakan keinginan seseorang untuk beradaptasi di tengah perbedaan budaya. Terakhir, behavioural CQ adalah kemampuan adaptasi seseorang untuk mengubah sikap dalam menghadapi orang-orang dari budaya yang berbeda.
Mengingat bidang Akuntansi selalu menjadi unggulan dan begitu diminati oleh mahasiswa internasional, menjadikan akademisi Akuntansi sebagai objek riset yang tepat untuk menilai kecerdasan budaya. Seperti yang Meredith sampaikan: “A significant part of our role involves not only dealing with our international classrooms domestically, but we also go to very different cultures and teach transnationally.”
Dampak Pengalaman Internasional akan Kecerdasan Budaya
Dari riset yang dilakukan oleh Meredith, bisa disimpulkan bahwa nilai kecerdasan budaya yang dimiliki oleh akademisi Akuntansi tergolong rendah bila dibandingkan dengan professional cohorts lainnya, walau masih ada di atas standar. Selain itu, Meredith juga menemukan variabel lainnya yang terbukti cukup berpengaruh dalam level kecerdasan budaya seseorang.
Hasil survey dengan 253 responden yang bekerja sebagai akademisi di bidang Akuntansi di Australia membuktikan bahwa akademisi yang pernah mengajar di wilayah Asia Tenggara memiliki nilai kecerdasan budaya yang lebih tinggi daripada akademisi yang hanya mengajar murid yang berasal dari negara berbahasa Inggris. Begitu pula dengan individu yang memiliki pengalaman tinggal di luar negeri selama lebih dari 12 bulan, mereka memiliki kecerdasan budaya yang tinggi.
Hal ini menjadi jawaban bahwa kecerdasan budaya bisa dikembangkan dan dipengaruhi oleh paparan budaya asing yang bertolak belakang dengan budaya yang selama ini dianut, bukan oleh jarak negara. Maka dari itu, program students exchange dan extensive study program ke luar negeri menjadi kurikulum yang berharga bagi mahasiswa Akuntansi untuk bisa mengasah kecerdasan budaya mereka.