Restrukturisasi Pinjaman Bank di Tengah Pandemi

Dampak dari pandemi COVID-19 begitu terasa dalam kehidupan bermasyarakat, sekaligus dalam pergerakan ekonomi nasional. Permasalahan baru yang harus dihadapi oleh para pebisnis dan juga bank terus bermunculan, salah satunya adalah kredit bermasalah. Bercermin dari krisis ekonomi di tahun-tahun sebelumnya, seperti di tahun 1998, badan pemerintahan sudah mengambil langkah-langkah terkalkulasi demi mengantisipasi resesi ekonomi.

Salah satu upaya untuk menangani masalah ini adalah opsi untuk melakukan restrukturisasi kredit bank. Berdasarkan regulasi baru yang dikeluarkan oleh OJK, restrukturisasi kredit bank akan berlangsung selama setahun, sampai tanggal 31 Maret 2021. Melihat isu restrukturisasi kredit bank yang tengah hangat, Magister Akuntansi BINUS GRADUATE PROGRAM mengundang Ferry Tobing, Vice President Commercial Loan di Bank Mandiri, ke dalam online Guest Lecture bertajuk “Restrukturisasi Pinjaman Dari Bank: Konsep, Metoda, dan Studi Kasus” yang diadakan pada hari Selasa (6/10) di jam 18.30 WIB.

Ferry menjelaskan bahwa kondisi kredit perbankan mengalami peningkatan yang signifikan di bulan Maret 2020 sebelum pandemi melanda. Sayangnya kondisi ini secara cepat mengalami penurunan hingga bulan Juli 2020, di mana pertumbuhan juga ikut menurun sementara NPL terus melambung.

Menurut data dari OJK, Ferry memaparkan bahwa sektor non UMKM menjadi “korban” pandemi terbesar, walaupun sebenarnya sektor UMKM juga terpuruk. Melihat dari NPL sektor bisnis di bulan Juni 2020, ada cukup banyak sektor usaha yang memiliki NPL di atas 3%, bahkan mencapai 5%-6%.

Sebelum dikeluarkannya regulasi baru oleh OJK, sudah ada aturan restrukturisasi dari Bank Indonesia di tahun 2009 dan 2012 yang melarang bank untuk melakukan restrukturisasi kredit hanya untuk memperbaiki kualitas kredit dan/atau menghindari pembentukan CKPN tanpa memperhatikan kondisi debitur. Lantas, Ferry berujar bahwa pihak bank perlu mengindikasi penyebab serta gejala permasalah kredit demi memutuskan langkah restrukturisasi yang tepat.

Ada berbagai penyebab permasalahan kredit yang umum ditemui oleh bank. Beberapa contohnya seperti perlambatan piutang, karakter debitur yang kurang baik, konflik internal dalam perusahaan debitur, perubahan regulasi yang berdampak pada usaha debitur, high leverage, musibah, penurunan penjualan, dan lain sebagainya.

Sebagai banker, maka sudah menjadi kewajiban untuk mampu mengenali serta menganalisis gejala-gejala debitur yang berpotensi mengalami permasalahan kredit. Menurut Ferry, gejala-gejala ini dibagi menjadi beberapa aspek berbeda, yakni aspek finansial, aspek manajemen, aspek teknis/produksi, serta aspek agunan. Biasanya dilakukan melalui financial statement analysis, kunjungan on the spot, serta negosiasi langsung dengan debitur.

Ferry pun menjelaskan bahwa sejalan dengan aturan restrukturisasi dari Bank Indonesia, regulasi baru dari OJK pun bertujuan agar restrukturisasi kredit bank yang dilakukan di tengah pandemi ini akan menguntungkan pihak bank dan debitur. Artinya, tidak bisa dilakukan secara

sembarangan. Dari perspektif bank, regulasi ini juga membantu pihak bank agar tidak collapse akibat cashflow macet, misalnya seperti tidak mampu melayani penarikan tabungan, deposito, dan giro dari nasabah karena penagihan pinjaman bank yang terhambat.

Pada Maret 2020, OJK mengeluarkan stimulus yang mengatur sektor usaha mana saja serta kriteria debitur yang dapat mengajukan restrukturisasi kredit bank. Pada intinya, menurut Ferry, debitur yang diperbolehkan adalah sektor usaha yang paling terdampak oleh pandemi ini. Beberapa di antaranya adalah pariwisata, transportasi, ritel, perhotelan, serta industri minuman dan makanan.

Ferry memaparkan bahwa sejatinya restrukturisasi ini bergantung sepenuhnya pada keputusan debitur, di mana debitur dapat menolak atau menerima saran pihak bank untuk melakukan restrukturisasi kredit. Dalam implementasinya, pihak bank mengelompokkan penanganan kredit bermasalah dalam 3 kategori.

Pertama, pembinaan yang termasuk penagihan kepada debitur. Bank akan mengapresiasi pembayaran kredit meskipun dalam jumlah kecil. Kedua, penyelamatan yang merupakan restrukturisasi demi meminimalisir kerugian bank. Ketiga dan terbilang ekstrem adalah likuidasi untuk memaksimalkan recovery.

Terakhir, Ferry juga mengungkapkan bahwa bank memiliki hak untuk memilih antara melakukan penagihan (collection) atau likuidasi. Caranya adalah dengan melihat NPV total. Apabila bank melihat kalkulasi NPV yang lebih besar dan menguntungkan di proses collection, maka bank akan memilih jalur tersebut. Perlu diingat juga bahwa nyatanya proses likuidasi ini juga dapat melibatkan pengacara, atau biaya tambahan lainnya.

Menutup Guest Lecture kali ini, Ferry juga memberikan sejumlah studi kasus restrukturisasi kredit bank yang sudah pernah ia tangani.

Whatsapp