Restrukturisasi dan Recovery: Strategi Mengatasi Masalah Kredit dalam Perspektif Perbankan
Masalah kredit macet dengan Non Performing Loan (NPL) yang melebihi 3% akibat adanya pandemi COVID-19 belakangan ini sedang ramai dibicarakan. Alhasil, OJK pun mengeluarkan kebijakan mengenai restrukturisasi kredit untuk bisa mencegah bank-bank di Indonesia collapse.
Ferry Tobing, Vice President Commercial Loan di Bank Mandiri, dalam sesi Guest Lecture yang digelar Magister Akuntansi BINUS Gradute Program mengungkapkan bahwa pertumbuhan kredit industri perbankan kian menurun, sementara NPL terus meningkat. Berikut strategi mengatasi kredit bermasalah yang dipaparkan oleh Ferry Tobing.
Penyebab permasalahan kredit
Ada berbagai sumber permasalahan kredit yang umumnya dihadapi oleh pihak bank. Salah satunya adalah musibah atau bencana di mana sumber pendapatan debitur terkendala, sebagaimana yang terjadi saat pandemi COVID-19 ini. Kemudian, masalah perlambatan piutang pun dapat mengakibatkan kredit bermasalah.
Karakter dari debitur juga sangat berpengaruh. Apabila debitur tidak disiplin dalam menggunakan pinjaman, maka bisa dipastikan akan ada masalah terkait pelunasan kredit tersebut. Seringkali, pihak bank juga melihat adanya konflik internal dalam manajemen sebuah badan usaha debitur yang berujung pada kredit macet.
Selanjutnya, faktor-faktor lain seperti proyek yang tidak selesai pada waktunya, perubahan kebijakan yang berdampak pada badan usaha debitur, high leverage, dan turunnya sales serta demand dari bisnis debitur juga tidak boleh luput dari perhatian pihak bank. Lewat identifikasi penyebab kredit bermasalah ini, seorang banker pun dapat lebih tanggap dalam menyusun rencana restrukturisasi bila diperlukan.
Tanda-tanda debitur bermasalah
Dari berbagai penyebab yang sudah disebutkan, kredit bermasalah bisa memburuk. Pihak bank umumnya meminta laporan neraca laba rugi milik debitur untuk melakukan analisa menyeluruh, yang mana pihak bank dapat menemukan beberapa gejala yang dibagi dalam empat aspek, yakni aspek finansial, aspek manajemen, aspek teknis/produksi, dan aspek agunan.
Dalam aspek finansial, gejala-gejala yang diperhatikan oleh banker meliputi sales yang menurun, alokasi dana yang menandakan pembelanjaan yang tidak sehat, stock turnover melambat, aging piutang meningkat, COGS meningkat, likuiditas menurun, EBITDA menurun, dan leverage memburuk.
Kemudian, dalam aspek manajemen, banker juga akan mengecek gejala-gejala seperti debitur yang tidak kooperatif, adanya pergantian pengurus/pemegang saham tanpa sepengetahuan bank, debitur yang terjerat hukum, debitur yang sulit dihubungi, pengawasan internal lemah, adanya konflik internal, manajemen yang kurang berpengalaman, serta tidak adanya managerial funding.
Untuk menganalisis aspek teknis/produksi, banker akan melakukan kunjungan on site ke lokasi usaha debitur dan mengundang debitur untuk melakukan negosiasi langsung terkait kredit bermasalah. Lewat pendekatan ini, banker baru dapat menemukan gejala-gejala seperti pasokan bahan baku yang tidak stabil, penurunan utilisasi alat produk, dan pasar yang tidak kondusif.
Terakhir, banker juga akan menganalisis status agunan yang sudah dijaminkan oleh debitur sejak awal pengajuan kredit. Tidak jarang banker menemukan agunan yang bermasalah, contohnya antara lain aset agunan palsu, agunan yang sulit dijual, agunan dalam sengketa, nilai agunan yang sudah dibesar-besarkan, pengikatan agunan lemah, coverage agunan di bawah ketentuan, agunan yang tidak ditutupi asuransi, administrasi agunan tidak tertib, dan tidak ada penyerahan personal/corporate guarantee.
Kriteria relaksasi kredit
Siapa saja yang bisa mengajukan relaksasi kredit? Nyatanya tidak seluruh badan usaha yang diizinkan oleh OJK untuk melakukan restrukturisasi kredit. Dalam POJK No. 11/POJK.03/2020, hanya sektor usaha yang terdampak COVID-19 yang diperbolehkan. Mulai dari pariwisata, transportasi, hotel, F&B, ritel, multifinance, farmasi, pertanian, pertambangan, hingga otomotif.
Sementara itu, OJK juga menetapkan kriteria debitur yang boleh mengajukan relaksasi kredit. Debitur tersebut harus mengalami kerugian yang berhubungan dengan adanya COVID-19, seperti penurunan cashflow, terkena dampak penutupan jalur transportasi, terhambatnya proyek pembangunan infrastruktur, memiliki kewajiban sebagian besar dalam valuta asing, dan terdampak kebijakan pemerintah.
Strategi recovery kredit
Dalam proses restrukturisasi maupun penyelesaian kredit, harus bermula dari itikad debitur. Meskipun bank menyarankan dilakukannya restrukturisasi kredit, pihak debitur bisa menolak hal tersebut.
Restrukturisasi kredit memiliki beberapa bentuk, yakni penurunan suku bunga kredit, perpanjangan tenor, pengurangan tunggakan bunga atau pokok, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Apabila memang pihak bank merasa bahwa restrukturisasi kredit tidak bisa dilakukan, maka bank akan mengambil langkah penyelesaian kredit demi memaksimalkan recovery.
Strategi penyelesaian kredit yang dilakukan oleh bank pun perlu melalui beberapa kajian, dimulai dari melihat syarat dan ketentuan kredit, status agunan, proses dan waktu penanganan, hingga potensi risiko. Jika Net Present Value (NPV) dari penagihan lebih rendah dari NPV likuidasi agunan, maka bank akan melakukan upaya likuidasi aset debitur.