Peran Artificial Intelligence dalam Membantu Aktivitas Pasca COVID-1
Tidak bisa dipungkiri fakta bahwa pandemi membawa serangkaian perubahan gaya hidup dan aktivitas yang akan tetap berlanjut di era pasca pandemi. Begitu pula dengan peran ArtificiaI Intelligence (AI) yang semakin terasa besar akibat akselerasi digital dan aktivitas online selama pandemi.
Pada hari Kamis, 18 Maret 2021, BINUS Business School dan BINUS Graduate Program menyelenggarakan seri pertama dari seri webinar “Connecting the Dots” yang membahas tema seputar bisnis dan teknologi. Di kesempatan ini, Galih Permadi, MBA (Managing Director of XQ Informatics) diundang untuk menjadi keynote speaker yang menjelaskan seberapa besar peran AI yang terlihat di masa pandemi dan di era pasca COVID-19 ke depannya.
Penerapan edukasi jarak jauh
Pembelajaran jarak jauh yang diterapkan sejak awal pandemi disinyalir akan terus berlanjut hingga nanti masa pasca COVID-19. Sekolah dan perguruan tinggi mulai melirik untuk menerapkan hybrid learning yang menggabungkan offline dan online class, sebagaimana yang sudah diterapkan oleh BINUS University sejak bertahun-tahun sebelum pandemi.
Peran AI dalam penerapan edukasi jarak jauh pasca pandemi bisa kita lihat dengan teknologi AI terbaru di China, tepatnya di SD Jinhua Xiaoshun. Murid-murid diminta untuk mengenakan ikat kepala kecil yang dilengkapi oleh sensor dan AI untuk memantau gelombang otak mereka. Ikat kepala ini akan merekam gelombang otak pemakainya yang datanya akan dikirim ke komputer guru dan ponsel orang tua.
Ikat kepala ini menggunakan teknologi AI untuk memantau tingkat fokus dan konsentrasi murid. Jika ikat kepala mengeluarkan sinar berwarna sebagai indikator, yakni merah yang menandakan fokus, kuning yang menandakan tidak fokus, dan putih yang menandakan kondisi offline. Selain inovasi ikat kepala ini, kini sudah ada kamera dengan teknologi AI yang melihat seberapa sering murid mengecek ponsel atau menguap.
Galih berpendapat bahwa inovasi-inovasi ini bisa diterapkan saat hybrid learning, di mana para pengajar bisa lebih mudah memantau proses pembelajaran jarak jauh. Namun, Galih juga mengatakan bahwa inovasi seperti ini mungkin akan terasa terlalu mengekang, “ada satu tembok di mana kita harus memilih antara privacy dan kemajuan teknologi.”
Melanjutkan sistem kerja jarak jauh
Sistem working from home diperkirkan akan terus berlanjut walau pandemi sudah berakhir. Ini dikarenakan sejumlah industri yang merasa diuntungkan dengan sistem work from home yang dirasa lebih fleksibel. Selain itu, teleconference dan digital collaboration juga menjadi tren yang lahir karena maraknya sistem remote working di tengah pandemi. Kedua hal ini juga yang akan dipertahankan oleh industri untuk memudahkan mereka terhubung dengan satu sama lain, terlepas dari jarak yang jauh.
Lalu, di mana peran AI dalam akselerasi sistem kerja jarak jauh? Ambil contoh teleconference yang mengambil alih peran ruang meeting di kantor. Misalnya saja seperti platform Microsoft 365 yang menghadirkan “together mode,” di mana AI pada kamera akan melacak dan mengedit wajah serta bagian atas tubuh pengguna untuk dimasukkan ke background yang terlihat seperti meja meeting. Nantinya, para peserta teleconference akan melihat wajah-wajah mereka seperti duduk bersebelahan satu sama lain dalam satu ruangan.
AI yang semakin menyerupai manusia
Kini, kita bergerak semakin maju dengan inovasi teknologi conversational AI. Perusahaan OpenAI meluncurkan produk terbaru mereka yang diberi nama GPT-3 yang mampu mengobrol layaknya manusia. Bahkan, GPT-3 sebagai AI bisa memilih sendiri avatar dan namanya, semakin membuatnya terlihat layaknya manusia. GPT-3 dan conversational AI lainnya diprogram agar bisa mengatur mimik wajah, diksi, dan intonasi bicara berdasarkan data yang dipelajarinya.
Jadi, conversational AI belajar soal bagaimana caranya menjawab pertanyaan seperti manusia asli. Hebatnya, GPT-3 memiliki total data set yang cakupannya sangat luas, keseluruhan dari Wikipedia bahasa Inggris pun hanya mencakup 0,6% dari total data set milik GPT-3.
AI akan masuk ke industri IT
Kegiatan seperti coding yang menjadi makanan sehari-hari di industri IT masih dilakukan oleh manusia. Ke depannya, bukan tidak mungkin kegiatan coding sehari-hari bisa dilakukan oleh AI. Seperti bagaimana GPT-3 bisa mengkonversikan kata-kata menjadi kode HTML/CSS, di mana pengguna cukup mengetikkan keinginan dan AI pun akan membuat coding-nya, selama masih di bawah limit 512 token.
Contoh yang diambil oleh Galih adalah command untuk “a button that looks like watermelon,” yang kemudian langsung dibuat oleh GPT-3. GPT-3 juga bisa digunakan untuk membuat command di Linux untuk kemudian dibuatkan syntax. Sehingga, potensi AI untuk mentranslasi bahasa manusia menjadi bahasa mesin semakin terbuka lebar.