Dari Greenflation ke Industri 4.0: Merajut Masa Depan Rantai Pasok Industri dengan Transformasi Digital yang Berkelanjutan

Jakarta – Belum lama ini, istilah seperti ‘greenflation’ dan ‘circular economy’ yang sempat heboh di ruang digital, cukup membuka mata kita. Isu-isu seperti energi terbarukan yang berusaha ‘menjinakkan’ polusi dan zero waste yang bukan hanya soal sampah, tapi tentang produksi yang bertanggung jawab, menjadi pembicaraan hangat.

Menariknya, masyarakat mulai ‘berteman’ dengan konsep sustainability, terutama di sektor industri, termasuk dari aspek rantai pasok atau supply and chain. Bagi industri, transformasi digital dan keberlanjutan ibarat Batman dan Robin—duo yang tak terpisahkan—di mana satu membantu dan melengkapi yang lain.

Dr. Muhammad Asrol, ahli rantai pasok industri dan sekaligus Head of Master of Industrial Engineering Study Program di BINUS Graduate Program (BGP), menekankan bahwa transformasi digital turut mendukung keberlanjutan sehingga memungkinkan keduanya berjalan beriringan.

“Perpaduan dari transformasi digital dan sustainability ini bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas dalam rantai pasok,” ungkap Asrol ketika ditemui secara daring hari Rabu (07/02/2024).

Dia menyebut, tim peneliti di BINUS pernah mengkaji dampak transformasi digital terhadap rantai pasok serta efisiensi dari rantai pasok itu sendiri. Hasilnya pun luar biasa, meskipun sebenarnya bukan berita mengejutkan.

Hasil penelitian, serta survey terhadap rekanan industri, mengindikasi bahwa terdapat dampak yang signifikan dari transformasi digital terhadap efisiensi rantai pasok, begitu pun sebaliknya.

“Jadi secara teori ini juga sudah didukung dengan fakta yang terjadi di lapangan. Tinggal nanti bagaimana industri seharusnya bertransformasi digital yang baik itu seperti apa,” ungkap Asrol.

​​Di sisi lain, seperti yang diketahui, industri adalah sektor yang sangat mengeksploitasi sumber daya alam sehingga Asrol menyebut perlu adanya kontrol yang baik. Tak hanya bertransformasi digital, industri perlu mempertimbangkan faktor keberlanjutan.

“Sustain ini berarti industri harus memastikan penggunaan sumber daya yang efisien dan baik, tanpa eksploitasi secara brutal. Industri perlu melakukan proses-proses monitoring sehingga di masa mendatang juga tetap terus berlanjut,” Asrol menekankan.

Sustainability tersebut, lanjut dia, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Transformasi digital pun merupakan cara agar industri bisa berkelanjutan.

Transformasi Industri: Mulai dari Mana?

Lalu, apa yang perlu dilakukan oleh industri untuk memastikan perusahaan menerapkan transformasi digital rantai pasok yang berkelanjutan?

Asrol mengatakan bahwa langkah pertama adalah melakukan penilaian atau tepatnya self-assessment. Ini melibatkan penilaian kondisi perusahaan dari sisi digitalisasi dan keberlanjutan untuk mengidentifikasi area perbaikan.

“Untuk transformasi digital, Indonesia mempunyai assessment bernama Indi 4.0, yang bisa mengukur sejauh mana transformasi digital telah diterapkan,” ucap dia.

Melalui sistem penilaian tersebut, industri bisa menilai posisi mereka dalam proses transformasi digital. Misalnya, apakah mereka telah menggunakan sistem pendataan digital atau masih beroperasi secara manual?

Tingkat tertinggi dari penilaian tersebut dapat tercapai jika semua data telah saling terhubung dengan memanfaatkan teknologi cloud serta teknologi lainnya.

Asrol juga menyebutkan satu penilaian serupa di level internasional yang dapat menjadi panduan saat melakukan penilaian, yakni SIRI, kepanjangan dari Smart Industry Readiness Index.

“Itu dikembangkan oleh Singapura dan juga sudah digunakan dalam World Economic Forum. Ini juga menilai sejauh mana industri itu sudah smart ataupun sudah bertransformasi secara digital. Ada standar-standar nilainya sendiri,” kata dia.

Sementara itu, sustainability juga dimulai dari penilaian. Dalam penelitiannya, Asrol telah mengembangkan sistem penilaian yang mencakup empat perspektif: ekonomi, sosial, lingkungan, dan sumber daya.

“Sumber daya merupakan perspektif tambahan dari kami karena ini merupakan aspek kritis di negara berkembang seperti Indonesia, sering menjadi masalah,” ujar Asrol. “Dari penilaian tersebut, industri bisa mengidentifikasi aspek yang perlu diperbaiki untuk menjadi lebih sustain,” dia menambahkan.

Digitalisasi dan Sustainability: Keharusan Zaman

Digitalisasi dan keberlanjutan bukan lagi sekadar pilihan. PBB telah menggalakkan semua negara untuk berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs), yang di antaranya komitmen produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab serta energi bersih dan terjangkau.

Asrol menjelaskan bahwa dari perspektif rantai pasok, transformasi digital meningkatkan efisiensi dan kontrol dalam proses pemenuhan pesanan konsumen.

“Industri bisa mendapatkan informasi yang akurat terkait data yang tersebar di sepanjang rantai pasok. Kira-kira itu tujuan dari transformasi digital,” ujar dia.

Digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk memonitor dan mengoptimalkan sumber daya—bahkan secara real-time—sedangkan sustainability memastikan penggunaan sumber daya yang efisien dan bertanggung jawab.

Namun, industri di Indonesia masih ‘berpacu’ untuk mengejar transformasi digital yang dirangkum dalam jargon Industri 4.0. Mengutip data yang ada, Asrol menjelaskan bahwa Indonesia masih tertinggal di Asia Tenggara, berada di bawah Singapura dan Malaysia.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Faktor penghambatnya, menurut Asrol, meliputi kurangnya sumber daya manusia, kesadaran masyarakat, dan komitmen.

“SDM mumpuni di bidang teknik industri itu penting untuk membangun bagaimana transformasi digital bisa berjalan dengan baik. Kemudian kesadaran juga penting,” ujar dia.

Bagi warga di negara maju seperti di negara-negara Eropa atau di Amerika Serikat, sustainability bukan barang baru. Oleh karena itu, ketika isu greenflation sempat mencuat di dalam negeri, hal ini malah membawa berkah tersendiri dalam membantu membangun kesadaran masyarakat Indonesia.

“Kemudian komitmen kita, perlu aturan yang jelas dan bagaimana melaksanakannya agar kita bisa bersama dalam membangun industri—khususnya rantai pasok—yang sustain dan juga transformatif secara digital,” Asrol memaparkan.

SDM: Jantung Transformasi

Menjadi salah satu faktor keberhasilan transformasi digital, tak berlebihan kiranya jika kita mengatakan bahwa SDM merupakan jantung penggerak transformasi. Indonesia membutuhkan SDM yang terampil dan berpengetahuan luas dalam teknologi terbaru serta prinsip-prinsip sustainability demi mengatasi tantangan ini.

Lalu, bagaimana cara meningkatkan kualitas ini?

Asrol menyebutkan beberapa opsi, seperti menambah keterampilan melalui pelatihan atau meningkatkan kompetensi dengan kembali ke kampus.

“Karena di kampus adalah tempat menghasilkan orang-orang dengan sumber daya manusia dengan kualitas-kualitas tertentu yang juga sudah dijaga oleh pemerintah,” tutur Asrol.

Dia mengatakan, secara akademik, program tersebut fokus pada tiga hal utama yang tujuannya adalah untuk mendukung transformasi digital dan juga sustainability.

Fokus pertama, lanjut Asrol, adalah supply chain engineering, di mana mahasiswa diajarkan untuk membangun pemahaman yang terstruktur tentang sistem rantai pasok yang efisien dan berkelanjutan.

“Yang kedua, kami juga mengembangkan cara berpikir mahasiswa-mahasiswa S2 dengan data science dan juga simulasi. Jadi lulusan dari teknik industri itu tidak lagi berpikir secara konvensional dengan pendekatan optimasi, tetapi juga sudah dengan pendekatan-pendekatan teknologi seperti Artificial Intelligence dan juga data science,” ujar Asrol.

Lalu, lanjut Asrol, mahasiswa juga akan diberikan pengetahuan tentang desain produk industri, memastikan mahasiswa mampu mendesain dengan pendekatan sistem yang teruji. Pengetahuan dan kemampuan mahasiswa pun akan semakin dipupuk ketika mereka mengerjakan thesis sesuai dengan topiknya masing-masing.

“Kami percaya bahwa jika teman-teman bergabung dengan S2 Teknik Industri BINUS, komitmen kami adalah untuk bertumbuh bersama agar nanti kita bisa menciptakan teknik industri yang bertransformasi digital yang baik dan juga sustain,” Asrol berharap.

Rantai pasok yang berkelanjutan dan digital bukan hanya tentang adaptasi terhadap tren, melainkan tentang membangun masa depan industri yang bertanggung jawab.

Perubahan ini memerlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, termasuk industri, pemerintah, dan institusi pendidikan. Melalui kolaborasi yang efektif, kita dapat menggagas masa depan industri yang tidak hanya efisien dan inovatif, tetapi juga berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Whatsapp