Revolusi Digital, Strategi Baru dalam Membangun Startup Perikanan Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan perairan terluas keempat di dunia sehingga tak mengherankan kalau sektor perikanan diharapkan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, seharusnya perusahaan rintisan atau startup perikanan menjadi nadi yang mendenyutkan produksi perikanan dalam negeri.
Pada kenyataannya, jumlah perusahaan rintisan di bidang perikanan masih lambat jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Tercatat, dari 2.193 perusahaan startup yang ada di Indonesia, hanya 32 di antaranya yang menekuni bidang kelautan dan perikanan.
Angka tersebut kini naik menjadi sekitar 50 startup. Hal ini diungkapkan oleh Gunawan Wang, dosen program Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI), Binus Graduate Program (BGP), BINUS University.
“Nah pengakuan dari praktisi, meskipun akan ditambah 200 startup lagi, pasarnya tidak akan mengecil. Jadi kita bisa membayangkan, menambah 200 startup baru lagi dalam setahun saja, pasarnya itu masih terlalu besar,” kata Gunawan dalam wawancara daring, Rabu (20/12/2023).
Alasannya, menurut dia, mayoritas masyarakat Indonesia lebih terbiasa mengkonsumsi ayam daripada ikan. Padahal, Gunawan menekankan jika perilaku ini bisa diubah, potensi pasarnya menjadi sangat luar biasa–mengingat jumlah penduduk kita yang mencapai 280 juta orang.
“Belum lagi kita bicara tentang ekspor perikanan. Walaupun sekarang Indonesia sudah menempati eksportir perikanan, kalau tidak salah peringkat kedua atau ketiga dunia, tapi masih punya potensi yang sangat besar sekali. Karena negara perikanan itu tidak banyak, bisa dihitung dengan jari,” lanjut dia.
Untuk mencapai potensi tersebut, Gunawan menyebutkan bahwa startup bisa memfasilitasi, terutama untuk meningkatkan skala dan efisiensi budidaya ikan yang berorientasi ke level industri dengan bantuan teknologi.
“Supaya mindset petani ikan itu kalau budidaya jangan hanya lokal saja, jangan yang penting bisa hidup sehari-hari. Tapi sudah berorientasi ke industri. Untuk unggas kita bisa skala industri, kok ikan masih sedikit,” ujar dia.
Mempercepat adopsi teknologi
Menurut Gunawan, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan adopsi teknologi di bidang perikanan berjalan lebih lambat ketimbang sektor lain. Pertama, mayoritas SDM di perikanan masih belum melek teknologi, terutama para nelayan dan pembudidaya ikan yang kebanyakan masih bergantung kepada metode tradisional.
“Yang kedua, tren teknologi terbaru ini sering kali tidak terekspos. Nelayan kita masih tradisional, dari dulu pakemnya begitu-begitu aja. Kalau satu kolam panennya hanya satu kuintal, ya segitu aja, jangan aneh-aneh. Padahal kalau dengan teknologi terbaru mungkin hasilnya bisa 10 kuintal,” ucap Gunawan.
Dia pun menyebut beberapa teknologi yang bisa membantu meningkatkan produksi ikan, seperti Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI). Teknologi-teknologi ini memainkan peran penting, misalnya untuk meningkatkan kualitas bibit ikan.
“Dari hasil survey, ternyata kalau mendapat bibit ikan yang kurang baik, bisa boros. Jadi konsumsi makannya banyak. Kedua, waktu berkembangnya lambat dan hasilnya sedikit. Jadi setelah beberapa bulan ketika harusnya panen, hasil ikannya kecil-kecil,” Gunawan bercerita.
Padahal, mereka bisa mendapatkan bibit ikan yang berkualitas tinggi dan menghasilkan produksi ikan yang berlimpah. Teknologi modern, misalnya sensor untuk mengukur faktor-faktor lingkungan seperti suhu air, kelembaban, kadar oksigen, nitrogen, ammonia, dan pergerakan ikan, memainkan peran vital.
Data yang dikumpulkan dari sensor-sensor tersebut kemudian digunakan untuk mendeteksi perkembangan ikan, menentukan jumlah pakan, dan antibiotik yang optimal, serta membantu memastikan lingkungan yang sehat bagi ikan.
“Mungkin satu tempat budidaya dengan tempat lain itu bisa berbeda. Misalnya, kita budidaya ikan di Palmerah dengan di Bekasi atau di Puncak itu kan punya karakteristik berbeda. Selama ini kan tidak terdeteksi,” papar dia.
Bersandar pada data, bukan insting
Dengan berfokus pada data, pembudidaya ikan bisa meminimalisir kesalahan dan pemborosan, serta memastikan pertumbuhan yang efisien dan sehat bagi ikan. Oleh karenanya, teknologi seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam budidaya ikan.
“Sekarang kan zamannya kita bicara by data, bukan by instinct. Karena kalau insting itu kan banyak kesalahan. Harus bicara berdasarkan data. Nah datanya dari mana? Ya dari kita monitor harian, mingguan, bulanan, sampai waktu panen,” Gunawan menegaskan.
Data yang sudah terkumpul tersebut bisa dipelajari dan dikembangkan untuk skala yang lebih besar lagi. Misalnya berawal dari 5 kolam. Dalam jangka waktu 6 bulan dipelajari dan ketika berhasil, skalanya bisa ditingkatkan menjadi 50 kolam, lalu 100 kolam, dan seterusnya.
“Jadi memang penting sekali supaya kita tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Di era saat ini, bukan lagi mengandalkan insting, melainkan berbasis data,” lanjut dia.
Terlebih lagi, teknologi semakin lama semakin terjangkau sehingga biaya untuk budidaya ikan skala industri bisa ditekan serendah-rendahnya. Keuntungan-keuntungan tersebut lah yang menurut Gunawan belum tersampaikan dengan baik kepada para nelayan dan pembudidaya ikan lokal.
Kolaborasi multidisiplin ilmu
Untuk membangun kekuatan sektor perikanan yang kuat, Indonesia perlu menelurkan lebih banyak perusahaan rintisan yang sudah dipersenjatai dengan teknologi. Oleh sebab itu, Gunawan menekankan pentingnya kolaborasi dalam mengembangkan bisnis di era digital, tak terkecuali sektor perikanan.
“Tentunya tidak bisa SDM perikanan itu semuanya hanya yang ngerti perikanan. Sekarang ada multidisiplin. Jadi memang kita perlu duduk bareng, perlu menyelesaikan masalah perikanan seperti apa. Kontribusi dari berbagai sudut pandang ilmu yang berbeda,” kata dia.
Pebisnis memang perlu memahami metode budidaya ikan secara mendetail, dari pembibitan hingga panen. Di sisi lain, pengetahuan tentang teknologi juga penting.
“Karena kita akan berbasis ke bisnis, tentu pengetahuan bisnis juga penting. Jadi mengatur supply chain-nya bagaimana, strategi pemasarannya bagaimana, dan seterusnya,” ujar Gunawan.
Tiga kombinasi disiplin ilmu tersebut—perikanan, teknologi, dan bisnis manajemen—akan menjadi kekuatan untuk membangun startup yang sukses. Indonesia membutuhkan SDM yang bisa menguasai kompetensi ini jika kita ingin memajukan sektor perikanan.
Munculnya kebutuhan tersebut pun mendorong BINUS University, tepatnya program studi Magister Manajemen Sistem Informasi di Binus Graduate Program, untuk berkolaborasi dengan Universitas Padjadjaran dalam menghadirkan program Master of Digital Business Fisheries, atau dikenal juga sebagai Magister Bisnis Digital Perikanan.
Tujuan utama program itu adalah untuk memperkaya SDM Indonesia dengan keahlian dan pengetahuan yang esensial untuk mencapai kesuksesan di zaman digital, khususnya di sektor perikanan.
“Sudah pasti Unpad itu jagolah tentang semua seluk beluk perikanan karena memiliki pengalaman yang lama di situ. Nah BINUS membantu dari segi teknologi. Karena kami kan kekuatannya di bidang teknologi ya—BINUS punya laboratorium AI bersama Alibaba dan Huawei,” dia mengungkapkan.
Selain itu, Gunawan menyebutkan bahwa BINUS University juga memiliki pengalaman kuat di bidang bisnis manajemen, bahkan sampai diakui secara internasional. Tercatat, Binus Business School telah terakreditasi AACSB oleh The Association to Advance Collegiate Schools of Business.
“Dengan kombinasi antara tiga ilmu ini, tentunya akan menghasilkan profesional yang paham cara memulai startup di bidang perikanan dan mengelola bisnis perikanan. Kompetensi ini menjadi value added bagi praktisi di lulusan perikanan,” ucap Gunawan saat menutup percakapan.