Tantangan Pandemi di Ekonomi Digital, Hal yang Harus Kita Siapkan
Revolusi industri 4.0 yang sudah lama digaungkan tidak disangka datang lebih cepat sebagai dampak pandemi. Kemajuan teknologi digital yang kian pesat pun mendorong kita untuk bergerak maju ke ekonomi digital yang hadir dengan tantangan tersendiri. Pada Jumat, 19 Maret 2021, BINUS Business School dan BINUS Graduate Program kembali melanjutkan seri webinar “Connecting the Dots” dengan Ricky Haryadi (Partner Technology Lead of Microsoft Indonesia) sebagai keynote speaker. Ricky Haryadi juga merupakan alumni Magister Manajemen di BINUS Business School. Dalam kesempatan ini, Ricky memberikan paparan soal tantangan yang hadir akibat pandemi di ekonomi digital yang terus berkembang. Berikut ulasannya.
Response, recovery, dan reimagine
Sejatinya, response (tanggapan) itu sudah kita lalui di Maret 2020, saat awal pandemi melanda Indonesia. Di saat itu, kita semua baru saja melihat tantangan nyata dari pandemi, di mana diberlakukannya pembatasan sosial pertama kalinya. Pada tahap response, kita beradaptasi lagi bagaimana segala aktivitas bisa dilakukan di rumah, yaitu dengan bantuan teknologi digital. Contohnya seperti remote working dengan mengandalkan teleconference dan online shopping dengan e-commerce.
Kemudian, kita lanjut ke tahap recovery (pemulihan), yaitu tahap di mana kita bergerak sekarang. Recovery ditandai dengan pembagian vaksin yang juga menjadi harapan agar angka penyebaran COVID-19 bisa ditekan secara signifikan hingga negara kita benar-benar pulih dari dampak negatif COVID-19.
Namun, tahap selanjutnya yang bisa dikatakan sebagai tantangan besar bagi publik, yakni reimagine (berangan-angan kembali). Dampak negatif dari COVID-19 memang bisa dinetralisir kembali setelah tahap recovery, namun perubahan yang sudah terjadi akibat COVID-19, seperti penggunaan digital teknologi secara masif, akan terus berlanjut dan baik direncanakan atau tidak, akan mengambil alih gaya hidup yang baru. Jadi, akan lebih baik jika kita mulai mempersiapkan diri ke depannya.
Kebiasaan digital baru
Mungkin Anda kini menyadari kebiasaan untuk menggunakan smartphone lebih sering dari biasanya, bagaimana kita sepertinya lebih bergantung pada jaringan internet dan perangkat pintar kita. Inilah sepotong kecil dari kebiasaan digital baru yang muncul akibat pandemi.
Tidak seharusnya kita pandang kebiasaan digital dengan sudut pandang negatif, karena baik disadari atau tidak, kebiasaan digital baru tersebut membantu kita untuk beraktivitas lebih efektif dan efisien, bahkan lebih hemat lagi. Apa saja kebiasaan digital lainnya yang paling banyak dirasakan masyarakat?
Ada virtual visit yang diterapkan oleh tempat-tempat wisata yang ditutup selama pandemi, terutama museum seni yang membuka pintu virtual untuk para tamu berkunjung. Lalu, demi
menghubungkan jarak yang jauh antara dokter dan pasien, telehealth mendapat momentum dari pandemi ini karena banyak orang-orang yang enggan untuk check-up ke rumah sakit. Selanjutnya, kita bisa melihat meningkatnya tren contactless transaction, curbside pickup, remote learning, remote teamwork, dan remote development.
Tech jobs yang terus berkembang
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Microsoft, tercatat akan ada lebih dari 800 juta populasi dunia yang harus belajar skill baru di tahun 2030. Hal ini bukan tanpa sebab, karena dari data yang sama, tercatat pula bahwa akan ada 149 juta tech jobs atau pekerjaan di bidang teknologi baru yang muncul dalam 5 tahun ke depan.
Bayangkan, ada banyak sekali posisi kerja baru yang bermunculan dalam waktu yang singkat ini. Akan tetapi, pekerjaan baru juga berarti skill teknis baru yang perlu dimiliki untuk bisa beroperasi sebagaimana mestinya. Inilah yang menjadi katalis kewajiban kita untuk terus belajar skill baru, khususnya yang ada di bidang teknologi.
Masalah yang harus kita hadapi
Untuk membangkitkan sumber daya manusia di tengah pandemi ini, ada beberapa masalah yang harus segera kita tangani. Pertama, tentu saja ada krisis ekonomi global yang masih mencuat hingga kini. Contohnya saja seperti IHSG yang anjlok dan menyebabkan portofolio investasi menjadi merah.
Selain itu, kita harus bersiap untuk kembali ke ekonomi yang berbeda. Kita tidak bisa berharap untuk kembali ke era pra pandemi, melainkan harus sigap beradaptasi ke ekonomi baru. Caranya? Demand pasar akan bergejolak, jadi kita harus mencari strategi bisnis baru agar bisa menjadi the first man running, bukan the last man standing.
Terakhir, tantangan untuk terus mengembangkan skill akan semakin intensif. Kita pun perlu untuk memiliki semangat belajar terus menerus, tanpa henti. Artinya, misi yang wajib kita pegang adalah lifelong learning. Sama seperti Ricky yang bekerja di bidang IT, di mana ia mengakui bahwa apa yang ia pelajari tahun lalu, sebagian besar sudah tidak lagi relevan di tahun ini. Sehingga, ia harus terus belajar hal-hal baru untuk bisa keep up dengan tren yang ada.